Refleksi Pemikiran Ki Hajar Dewantara

0 Comments

Pendidikan guru penggerak dalam episode Merdeka Belajar yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) telah memasuki angkatan 10. Guru penggerak dinilai sebagai salah satu solusi dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dan mewujudkan sebuah idiom “merdeka belajar”. Penulis sendiri merupakan salah satu Calon guru penggerak yang tergabung di dalam angkatan 9, dalam tulisan ini, penulis mencoba merefleksikan salah satu materi yang didapat di dalam PGP yaitu tentang pemikiran Ki Hajar Dewantara. 

Ki Hajar Dewantara memiliki nama lengkap Suwardi Suryaningrat, melalui kiprahnya biasanya dia dikenal sebagai salah satu dari tiga serangkai Indische Partij yang viral pada tahun 1920-an karena menulis di media massa saat itu yang berjudul “Als Ik Netherland Was” dalam surat kabar De Express milik Douwes Dekker, seperti dikutip itu yakni sebagai berikut:

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander (pribumi) memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.”

Kritik tersebut membuat marah pemerintah Belanda sehingga Ki Hajar Dewantara diasingkan ke Pulau Bangka. Tulisan Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo yang diniatkan untuk membantunya juga dianggap Belanda sebagai tulisan menghasut rakyat, sehingga keduanya juga diasingkan. Douwes Dekker dibuang ke Kupang, sementara dr. Cipto Mangunkusumo ke Pulau Banda.

Kita akan sudahi cerita tentang Ki Hajar Dewantara, karena meskipun cerita kepahlawanan dari Ki Hajar Dewantara kebanyakan adalah kiprahnya di bidang Pendidikan.

Ki Hajar Dewantara merupakan salah satu tokoh pendidikan di Indonesia yang dianggap paling netral dan sesuai dengan nilai-nilai pluralitas dan keberagaman. Pada 3 Juli 1922[1], Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan bercorak nasional bersama teman-temannya yang bernama Perguruan Nasional Tamansiswa (Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa). Perguruan ini menekankan pendidikan dengan rasa kebangsaan pada siswa. Para siswa ditanamkan rasa mencintai bangsa dan tanah air untuk berjuang memperoleh kemerdekaan.

Ia juga tetap aktif menulis dengan teman pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya yang mencapai ratusan buah tersebut menjadi dasar-dasar pendidikan nasional bangsa Indonesia.

Setelah kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara sempat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama. Ia juga meraih gelar doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada 1957. Dua tahun kemudian, sang pahlawan pendidikan Indonesia wafat pada 28 April 1959 di Yogyakarta, dan dimakamkan di sana.

Apa sebenarnya yang menjadi warisan dari Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan, dalam pendidikan guru penggerak, adalah sesuatu yang baru bagi saya bahwa dalam mempelajari pemikiran KHD, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa teori-teori dan pendekatan pendidikan yang dikemukakan KHD sesungguhnya tidak kalah modern dengan pendekatan dan teori yang dikemukakan dari para ahli pendidikan di dunia Barat. Penulis sendiri menjadi semakin penasaran untuk melakukan riset sederhana apakah ada hubungan saling mempengaruhi antara teori pendidikan di dunia Barat dengan pemikiran-pemikiran KHD.

Dalam paraghraph-paragraf berikut ini, izinkan saya memaparkan beberapa hasil belajar saya mengenai refleksi pemikiran Ki Hajar Dewantara.

Ki Hajar Dewantara menegasakan, bahwasanya, tujuan pendidikan adalah untuk mengantarkan anak menuju keselamatan dan kebahagiaan individu dan sebagai bagian dari masyarakat. Dalam menuju tujuan pendidikan tersebut, para pendidik atau guru memiliki tugas menuntun, bukannya menuntut. Pendidikan bukanlah pengajaran semata yang berorientasi pada materi dan ketuntasan dari rentetan CP-TP dan ATP yang dibuat guru (itupun bilamana tidak diperoleh dari download) namun adalah semata-mata mencapai keselamatan dan kebahagiaan siswa itu sendiri. lantas, apakah kita harus cuek terhadap proses pembelajaran di kelas, asalkan “siswa bahagia” di kelas.

Tentunya tidak sesederhana itu, mari sama sama kita insyafi, kembali menurut KHD, anak sejatinya memiliki Kodrat Alam dan Kodrat Zamannya sendiri. Kodrat alam berkaitan dengan sifat dan lingkungan di mana peserta didik berada, dapat dikatakan, Kodrat Alam adalah modal diri dari siswa yang menjadi titik start siswa sebelum adanya treatment dari guru. sedangkan Kodrat Zaman adalah konteks tuntutan yang akan dihadapi siswa di masanya, bila disederhanakan, Kodrat zaman adalah berbagai macam softskill, lifeskill dan hardskill yang harus dikuasai siswa ketika mereka menuju proses kebahagiaan dan keselamatannya. Sepengalaman saya menjadi guru, titik penginsyafan guru terhadap perbedaan kodrat alam dan kodrat zaman ini masih rendah, sehingga membuat adanya degradasi fungsi pendidikan di sekolah menjadi semata-mata pengajaran materi yang kering dan dibumbui adanya egoisme antar mata pelajaran secara parsial.

Lantas bagian mana pemikiran KHD yang menekankan pada karakter dan nilai-nilai budaya ke-timuran seperti yang didengungkan. Pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai Budi pekerti dan Karakter sebenarnya cukup mendetail. Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa keluarga menjadi modal utama pendidikan karakter bagi siswa. Selain itu dalam kacamata Ki Hajar Dewantara pula, Budaya menjadi tempat utama sebagai tameng dari adanya anasir-anasir kebudayaan barat yang negatif, proses akulturasi yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, harus menekankan pada penguatan kebudayaan asli Indonesia, akulturasi adalah keniscayaan, namun hal tersebut harus diarahkan pada penguatan nilai-nilai budaya milik kita sendiri. Mengenai hal ini dijelaskan secara gamblang pada pidato Ki Hajar Dewantara pada tahun 1957, ketika penobatannya sebagai Doktor Honoris Causa di UGM:

“Untuk dapat mencapai tujuan ini cukuplah di sini saya nasehatkan: didiklah anak-anak kita dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri. Di samping itu pelajarilah hidup kejiwaan rakyat kita, dengan adat istiadatnya yang dalam hal ini bukannya kita tiru secara mentah-mentah, namun karena bagi kita adat istiadat itu merupakan petunjuk-petunjuk yang berharga”.

Sekiranya dalam tulisan ini saya cukupkan dengan sebuah kesadaran diri saya, bahwa pelajaran sejarah adalah penting dan menjadi pilar dalam pondasi ke-Indonesiaan kita, bagaimana proses kita sebagai bangsa yang majemuk menjelma menjadi bangsa tunggal dalam aliran waktu sejarah, namun bila kita boleh jujur, kepentingan bagi siswa dalam konteks pendidikan adalah bagaimana mereka bisa mencapai keselamatan dan kebahagiaan, maka perlu kiranya dalam pembelajaran materi saya di kelas, unsur menghargai kodrat alam mereka yang berbeda dan memberi makna kontekstual terhadap kodrat zaman mereka di hari depan, menjadi prioritas utama saya. Dengan kata lain, mungkin mereka akan lupa bahwa Syafrudin Prawiranegara pernah menjadi perdana menteri PDRI, namun jangan sampai mereka lupa, bagaimana membuat materi dan performa presentasi yang baik di depan orang banyak.

Terima Kasih.

Oleh: Zia Ulhaq, M.Pd

Sumber :

  1. Ensiklopedia Pahlawan Indonesia dari Masa ke Masa Penerbit Tim Grasindo
  2. Pidato Sambutan Ki Hadjar Dewantara. Dewan Senat Universitas Gajah Mada, 7 November 1956
  3. Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937

[1] K.H. Ahmad Dahlan merupakan pejuang (yang mungkin tertua) dalam memperjuangkan pendidikan melalui pendirian sekolah modern pada tanggal 1 Desember 1911, K.H. Ahmad Dahlan sekaligus merupakan pendiri Ormas Islam Muhammadiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts

Merdeka = Berjuang

3 Comments

(Sebuah Refleksi tentang perayaan Proklamasi) Pekik suara semangat menggema sejak…