Penulis: Zia Ulhaq, M.Pd (Guru Bidang Studi Sejarah)

Indonesia merupakan negara kepulauan yang menjadi negara dengan populasi terbanyak keempat di
dunia. Pada pertengahan 2024, jumlah penduduk Indonesia mencapai 281,6 juta jiwa, naik
dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia 2024 juga
mengalami peningkatan, mencapai 75,021. Dengan Mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun
1985, luas wilayah NKRI adalah 8.287.520 km2, terdiri dari luas daratan 2.027.087 km2, dan luas
wilayah perairan Indonesia 6.260.433 km2 meliputi wilayah laut kepulauan 2.953.633 km2, luas laut
tentorial 328.960 km2, dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 2.977.840 km2. Secara angka,
meskipun Indonesia bukan menjadi 10 besar dalam hal luas wilayah negara, namun Indonesia tetap
menyandang sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Bila kita menengok ke belakang, Negara Indonesia memiliki perhatian yang sangat besar dan intens
terhadap dua hal diatas, yaitu jumlah penduduk dan luas wilayah. Mengapa jumlah penduduk menjadi
hal penting, tidak lepas dari anggapan Adam Smith bahwa jumlah penduduk merupakan input yang
potensial yang dapat digunakan sebagai faktor produksi untuk meningkatkan produksi suatu rumah
tangga perusahaan. Jumlah penduduk yang besar juga sangat penting karena menjadi dasar dari
berbagai aspek pembangunan nasional, termasuk ekonomi, sosial, dan politik. Penduduk merupakan
modal utama dalam pembangunan, sumber daya tenaga kerja, dan potensi pasar yang besar.
Mengenai luas wilayah, barang tentu tidak bisa dinafikan, semakin luas wilayah, semakin ada
kemungkinan dapat membawa potensi kesejahteraan bagi penduduk. Singkatnya, Luas wilayah yang
cukup luas juga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Wilayah yang luas dapat
menyediakan ruang bagi pengembangan infrastruktur, layanan publik, dan kegiatan ekonomi yang
lebih beragam, sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas dan konektivitas wilayah. Setidaknya
anggapa ini pula yang dipegang teguh para tokoh bangsa tahun 1957 ketika mendeklarasikan apa yang
dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, yang meneguhkan batas batas teritori Indonesia, dan merubah
konsepsi Indonesia sebagai negara dengan pulau-pulau menjadi Negara Kepulauan, suatu usaha yang
amat sangat berarti bagi kedaulatan wilayah Indonesia.
Banyak program yang telah diluncurkan dan digagas untuk mengawal dan menjaga jumlah penduduk
dan luas wilayah agar semakin sesuai dengan proyeksi pertumbuhannya. Sebut saja sejak masa Orde
Baru (1966 – 1998) kita punya program keluarga berencana, yang mencanangkan agar 2 anak cukup.
Selain itu mengenai jumlah penduduk yang tidak merata, Indonesia bahkan sampai memiliki
kementrian tersendiri yang menangani tentang transmigrasi. Hal ini menunjukan masalah jumlah
penduduk adalah hal yang ditangani secara serius oleh pemerintah, meskipun sejatinya kita belum
berbicara mengenai kualitas dari penduduk itu sendiri.
Mengapa tulisan ini membahas mengenai betapa pentingnya penduduk dan luas wilayah. Karena
dalam sejarah republik ini, kedua hal tersebut dapat dikatakan sebagai double-edged sword Indonesia,
pisau yang dapat digunakan sebagai kekuatan republik ini bangkit sesuai tujuan bernegaranya yang
tertuang dalam pembukaan UUD 1945, namun berbarengan dengan itu pula, jumlah penduduk dapat
menjadi sasaran pangsa pasar bagi ribuan perusahaan multinasional yang kerap menjadikan jumlah penduduk Indonesia yang besar agar tetap berada dalam kondisi lichtelijk dronken atau bahasa
Indonesianya, setengah mabuk. Agar tetap berada istiqomah sebagai konsumen-konsumen setia
produk mereka.

Kebangkitan Nasional adalah Momentum
20 Mei 2025, adalah hari peringatan kebangkitan nasional yang ke-117. Sejak tahun 1908 hingga masa
represif setelah great depression, Indonesia memasuki periode yang disebut masa pergerakan
nasional, yang diawali momen kebangkitan nasional. Kebangkitan nasional sejatinya bukanlah
perubahan secara fisik dan massif, ia hanya menjangkiti dan secara eksklusif berada di segelintir
kalangan yang dikenal sebagai generasi terdidik (dan tercerahkan, menurut Dr. Anhar Gonggong). Apa
yang kini dikenal sebagai hari kebangkitan nasional, adalah hari dilahirkannya sebuah organisasi
modern pertama di tanah Hindia-Belanda, yang bernama Budi Utomo. Inisiator awal dari organisasi
ini adalah dr. Wahidin Sudirohusodo dan Ketua pertamanya adalah Sutomo. Kelahiran Budi Utomo
membuka periode baru dalam sejarah Indonesia, yang dikenal sebagian masa pergerakan nasional.
Penulis berupaya merefleksikan kebangkitan nasional dengan kondisi hari ini, untuk itu kiranya, kita
bisa mengetahui – apa yang disebut oleh Hegel – sebagai Zeitgeist atau jiwa zaman masing masing.
Kemudian kita bisa mengukur, seberapa besar dalam skala sosialnya, sebenarnya terobosan yang
dilakukan para tokoh-tokoh pergerakan nasional (yang diawali oleh Budi Utomo) tersebut.
Berdasarkan data dari pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20, angka melek huruf di
Indonesia sangat rendah, dengan persentase penduduk yang mengenyam pendidikan Hanya ± 2–5%
pribumi di Jawa yang pernah mengenyam pendidikan formal. Dengan tingkat melek huruf 6,3%2,
Angka ini jauh lebih rendah di daerah Jawa dibandingkan dengan daerah luar Jawa, dengan tingkat
melek huruf masing-masing 1,4% dan 9,7% untuk perempuan dan 4,0% dan 13,4% untuk laki-laki pada
tahun 1930. Dapat dikatakan, Budi Utomo sendiri adalah organisasi modern yang didirikan oleh para
siswa Stovia (sekolah dokter jawa) yang merupakan golongan eksklusif, karena mayoritas masyarakat
saat itu belum bersekolah.
Bagaimana sekiranya Zeitgeist masyarakat pada masa itu, bisa dibayangkan bahwa masyarakat pada
umumnya masih bekerja sebagai petani, nelayan, buruh tani, penggarap lahan, kuli bangunan dan
banyak pekerjaan informal lainnya yang tidak membutuhkan ketrampilan baca-tulis-hitung.
Kehidupan sosial masyarakat pada awal abad 20 (pada masa pax netherlandica) diwarnai adanya
ekspansi perkebunan besar-besaran oleh Belanda, yang menyebabkan banyak terserapnya tenaga
kerja (buruh dan kuli) untuk kebun-kebun di wilayah Hindia-Belanda. Kebutuhan terhadap tenaga
kerja itu menjadi (salah satu) sebab dibukanya sekolah-sekolah untuk menutupi kekurangan tenaga
kerja. Sudah barang tentu didalamnya termasuk dibukanya sekolah dokter jawa (Stovia) yaitu untuk
mencukupi tenaga kesehatan pribumi, karena imperialis Belanda tidak mungkin mencukupi semua
kebutuhan tenaga kesehatan dari warganegara Eropa.
Pendidikan yang dibuka ternyata tidak terbatas di sekolah rendah, kebutuhan tenaga kerja baik untuk
perusahaan milik negara maupun swasta, semakin banyak, menyebabkan semakin massifnya pula
jenis-jenis sekolah yang dibuka, mulai dari Kweekschool (sekolah guru), de Technische Hoogeschool te
Bandoeng (ITB), Rechtsschool (Opleidingsschool voor de Inlandsche) atau yang dikenal sebagai sekolah hukum, dll. Bahkan ada pula kesempatan bagi para inlander (pribumi) bersekolah ke Negara Belanda
maupun negara eropa lainnya, sebut saja Sutan Sjahrir, Moh. Hatta, Sutan Takdir Alisyahbana, dll.
Negara (dalam hal ini, Hindia-Belanda) bermaksud untuk melahirkan tenaga-tenaga kerja yang
terampil untuk mencukupi kebutuhan ekspansi imperialismenya. Secara massif usaha ini dapat
dikatakan berhasil, karena tingkat perekonomian awal abad 20 hingga great depression tahun 1929
menggambarkan pertumbuhan. Masyarakat pribumi (inlander) banyak yang tercampur dengan tuan
belanda mereka. Pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan banyak mempekerjakan para lulusan
inlander ini. Standar hidup Inlander yang bersekolah pun jauh dari kata melarat, sebagai lulusan sistem
yang formal, nilai lebih mereka karena mereka jauh “terbaratkan”dibanding saudara mereka yang
tidak mengenyam bangku sekolah formal.
Namun dari sebagian kecil masyarakat yang mengenyam pendidikan formal, ada sebagian kecil lagi
dari mereka yang “tercerahkan”. Mereka menolak untuk mengabdi pada perusahaan-perusahaan
asing yang sanggup menggaji mereka besar, apalagi bekerja di kantor pemerintahan. Mereka adalah
anomali dari pola umum orang bersekolah, mereka tidak mengincar sekolah untuk bekerja, namun
mereka belajar untuk menjadi “tercerahkan”. Sebuah analogi yang bisa diterapkan, andaikan
Moh.Hatta dulu memilih bekerja di perusahaan asing, tentu dia sudah memiliki rumah besar, mobil
sendiri dan hidup enak, karena pada tahun 1932 dia sudah menjadi lulusan dari Universitas Erasmus
Rotterdam.
Bila dibandingkan sekarang, orang-orang sekelas Sukarno, Hatta, Sjahrir, Moh. Yamin, mungkin seperti
lulusan S3 (program Doktor) hari ini, dimana populasi lulusan S1 pada tahun 1920-an mungkin jauh
lebih sedikit dibanding lulusan doktor (S3) hari ini. Alih-alih mencari pekerjaan untuk menghidupi diri
mereka sendiri (atau keluarganya) mereka memilih jalan perjuangan, pemikiran untuk memerdekakan
bangsanya. Pada titik ini, Pendidikan mencapai kulminasi tertingginya, yaitu mencapai kesadaran
sebagai sebuah bangsa. Sampai saat menulis ini pun, penulis merinding memikirkan, pendidikan
benar-benar dimaksimalkan pada masa pergerakan, sebagai alat pembangun dan penyadar, bukan
direduksi menjadi alat pencari kerja semata.
Mungkin memang tepat berdirinya Budi Utomo disebut sebagai hari kebangkitan, bangkit menurut
KBBI: bangun (dari tidur, duduk) lalu berdiri3. Bangsa Indonesia bangkit dari masa tertidur nyenyaknya
ketika terjajah, dia bangkit (awake) dan mulai secara perlahan menyadari bangsa dirinya terjajah,
bahwa dirinya, sebagai sebuah bangsa, perlu hak untuk menentukan nasibnya sendiri, dan ini
ditentukan oleh segelintir dari segelintir orang yang berpendidikan, yang benar benar memahami,
bahwa pendidikan bukan alat mencari kerja semata, pendidikan harus mampu menyadarkan dan
membangunkan.

Refleksi hari ini dari kebangkitan Nasional
Hari ini, kita masih sangat bisa merefleksikan diri kepada momen kebangkitan nasional, momen
dimana pendidikan dijadikan sebagai alat perjuangan dan penyadar. Pertanyaan yang bisa kita ajukan
kepada generasi Emas Indonesia pada periode pergerakan dan awal kemerdekaan adalah sebagai
berikut, “setelah lantas kalian menjadikan pendidikan sebagai alat perjuangan, penyadar dan
pembangun, lantas apa buah yang kalian petik wahai Bapak Bapak Bangsa???”. Saya yakin dengan
tegas mereka akan bilang, “Negara yang kalian tinggali hari ini, adalah pecahan puzzle yang tidak berkait satu sama lain, kamilah yang menyusun potongan demi potongan, hingga bahkan generasi
kalian tidak menyadari bahwa sesungguhnya Indonesia sangatlah imajiner dan tidak berwujud,
kamilah yang menjadikanya ada dan dipercayai, semoga hingga kiamat kelak Indonesia akan tetap
ada”.
Kebangkitan Nasional yang dirayakan ke-117, harus memandu kita kembali menjadikan pendidikan
sebagai panglima dalam menyadarkan dan membangkitkan kita sebagai bangsa, jumlah penduduk dan
luas wilayah yang menjadi Double edge sword harus kita pastikan dapat kita kendalikan untuk
kemakmuran bangsa. Ancaman kita kini bukan lagi imperialisme yang menghambat kita menentukan
nasib sendiri, namun ancaman hari ini ada di ruang ruang paling dekat dengan kita, yaitu ketidak
sadaran kita akan kelalaian kita sendiri, ratusan aplikasi yang siap mengalihkan fokus kita menjalankan
tugas, dan yang pasti, ketidak mampuan kita menyadari, bahwa sejatinya pendidikan bukan untuk
semata mata mencari kerja, namun untuk menyadari dan membangun potensi maksimal diri kita.
Refleksi bagi pendidikan kita
Jumlah penduduk yang besar mengakibatkan Indonesia masuk dalam pusaran perang proxy antara
negara industri besar, bukan untuk mengharapkan bantuan militer dari Indonesia, namun semata
mata untuk menjamin keberlangsungan bisnis negara negara industri. Kini kita butuh generasi
“anomali” yang sadar akan kekuatan dari pendidikan untuk dapat mengoptimalisasi kembali fungsi
dari pendidikan, dan kita sebagai guru, harus juga berani “berbeda” mengemukakan bahwa
pendidikan ujungnya bukanlah mapan secara pekerjaan, Bung Hatta tidak bisa dikatakan memiliki
pekerjaan tetap selepas kuliah, Moh.Natsir bahkan tidak mencapai kemandirian finansial ketika
menjabat menjadi perdana menteri, namun dampak dari apa yang mereka perbuat mampu kita
rasakan hari ini.
Sebagai guru, kita sendiri harus percaya bahwa pendidikanlah yang membangkitkan dan
menyadarkan, bukan meninabobokan siswa agar mereka percaya profesi adalah hasil dari pendidikan.
Untuk itu, kita harus mencontohkan, dengan menjadi pembelajar sepanjang hayat, kita sendiri harus
terus belajar, membaca, menulis dengan gagasan orisinil kita (tidak dengan mengandalkan prompt AI
semata) dan menunjukan kepada siswa bahwa kesadaran dari pendidikan akan berbuah manis.
Sebagai penutup, izinkan saya sedikit membagikan pengalaman yang benar-benar nyata, dalam
memotivasi siswa, sesuai dengan asas pendidikan yang sesuai kebutuhan siswa, saya memberikan
treatment dan motivasi berbeda kepada siswa dengan latar belakang ekonomi yang berbeda pula. Bila
saya memotivasi siswa dengan latar belakang ekonomi keluarga yang lemah, selalu saya tekankan,
bahwa pendidikanlah yang bisa merubah nasib kalian, dengan sederet contoh, mulai dari BJ Habibie,
Chairil Tanjung, hingga Hartono bersaudara. Namun bilamana saya berhadapan dengan siswa yang
memiliki latar belakang ekonomi kuat dan bahkan dari golongan orang tua yang berpengaruh di
masyarakat. Akan saya beri penguatan, bahwa Indonesia lahir dari orang-orang yang memiliki
previlege seperti kamu/kalian, namun mewaqafkan dirinya untuk kepentingan orang banyak, namun
kelak, Indonesia dapat hancur juga, bila orang-orang seperti kamu/kalian yang memiliki previlege,
hanya mementingkan kepentingan pribadi atau golongan semata.
Semoga kita mampu hidup dan melihat apakah generasi yang kita didik, akan menjadi kebangkitan
kedua menuju Indonesia emas 2045, atau justru menjadi saksi gagalnya pendidikan untuk
membangkitkan manusia Indonesia seutuhnya.

  1. Data bps per 2024, dikutip dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTk3NSMy/jumlah-penduduk
    pertengahan-tahun–ribu-jiwa-.html pada senin 9 Juni 2025 ↩︎
  2. Sensus Hindia Belanda 1930, Volks- en Woningtelling 1920 (Sensus Penduduk dan Perumahan Hindia
    Belanda) Arsip resmi pemerintah kolonial ↩︎
  3. https://kbbi.web.id/bangkit ↩︎

Sumber :

  1. http://lib.lemhannas.go.id/public/media/catalog/0010
    121500000010618/swf/5301/files/basic-html/page14.html
  2. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTk3NSMy/jumlah-penduduk-pertengahan
    tahun–ribu-jiwa-.htm
  3. http://repository.fe.unj.ac.id/11911/3/Bab%20I.pdf
  4. https://www.tempo.co/sains/berapa-luas-negara-indonesia-ini-penjelasannya-205247
  5. Teguh, M. (2017). Gerakan Literasi Sekolah. Prosiding Seminar Nasional 2017 Universitas
    Muria Kudus. Kudus.
  6. Tri Priyatni, Endah dan Nurhadi. (2017). Membaca Kritis dan literasi Kritis. Tangerang: Tira
    Smart.
  7. Abidin, Nur Robi’ Zainal. (2020) Literasi Membaca Sebagai Upaya Pembentuk Karakter
    Peserta Didik (Jujur Dan Bertanggung jawab). Semarang: Universitas Negeri Semarang.
  8. Ricklefs, M.C. (2018) Sejarah Indonesia Modern. Jakarta, Serambi Ilmu Semesta.