Oleh: Zia Ulhaq, M.Pd (Guru Mata Pelajaran Sejarah di SMAN 42 Jakarta)

1. Memahami Konteks Era Digital

Selamat menikmati mungkin frasa yang cocok untuk disebutkan hari ini bagi kita yang tengah berada di Era Digital, selama 24 jam hari-hari kita, tidak kurang dari 2 jam kita habiskan untuk menikmati konsumsi digital kita di Handphone, berbagai bentuk pertemanan yang telah usang, kembali bisa dihidupkan melalui media sosial, transaksi keuangan semakin mudah, belanja, memberi hadiah atau bahkan membuat rencana pengajaran menjadi jauh lebih ringan. Apakah benar demikian?

Era digital adalah salah satu era atau zaman pada kehidupan ini telah mengalami kondisi kemajuan yang cukup pesat dan mengarah ke bentuk digital. Perkembangan era digital akan terus berjalan begitu cepat dan tak bisa dihentikan oleh manusia. Selama 11 tahun pengalaman saya menjadi guru, perubahan yang diakselerasi oleh pandemi covid-19 menjadi semakin besar dan menantang, setidaknya bagi para guru-guru sejarah hal ini semakin menjadi tren, saling share konten miliki orang lain “yang dirasa” benar ke setiap grup dan berbicara seakan konten tersebut adalah pembenaran argumentasinya adalah sebuah hal yang lumrah sehari-hari.

Sebenarnya apa itu era digital secara utuh? Adakah batasannya, bila kita menjadi guru sejarah, tentu sangat erat kaitannya dengan periodisasi, maka sejak kapan awal dari era digital itu sebenarnya, mari kita simak. Menurut Novrianto (2020) dalam Budiana, (2021), Era digital merupakan masa dimana semua orang telah melek teknologi serta semuanya serba terkoneksi. Era digital adalah masa dimana semua manusia dapat saling berkomunikasi sedemikian dekat walaupun saling berjauhan. Kita dapat dengan cepat mengetahui informasi tertentu bahkan real time.

Era digital dicirikan dengan adanya teknologi yang dapat meningkatkan kecepatan dan besarnya perputaran pengetahuan dalam perekonomian dan masyarakat. Era Digital dapat dianggap sebagai perkembangan dari sebuah sistem evolusioner dimana perputaran pengetahuan tidak hanya tinggi, akan tetapi juga semakin di luar kontrol manusia sehingga membuat masa dimana hidup kita semakin sulit untuk dikelola. Bila dikaitkan dengan periode waktu, era digital setidaknya dimulai sejak 1980an dimulai dengan perkembangan teknik dan metode analog.

Sejatinya, digitalisasi merupakan pencapaian yang dihasilkan dari proses industrialisasi yang berkembang tahap demi tahap, dari mulai revolusi industri pertama, kedua, ketiga hingga keempat. Pada revolusi industri keempat inilah, teknologi digital berkembang dengan pesat. Menurut McKinsey, 2016, evolusi digital ini didorong oleh empat jenis teknologi yang telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan dampaknya terhadap ekonomi, dan menurut data tersebut pada tahun 2016, setidaknya perangkat seluler (HP) telah mengambil presentase sebanyak 60% dari keseluruhan lalu lintas internet di dunia dari total lalu lintas internet mencapai 1 zetabyte atau setara dengan 1 triliun gigabyte Untuk mentransmisikan informasi setiap detik dari operasinya.

Bila kita melihat pengertian dan penjelasan di atas, maka kita bisa menelusuri setidaknya proses digitalisasi sudah dimulai sejak 1980an, namun baru meledak pada paruh 2010 ke- atas dimana ketika muncul revolusi industri keempat dan dibuktikan dengan adanya jangkauan teknologi digital perorangan secara massive yang mengambil porsi besar dari lalu lintas internet di dunia. Mungkin pada tahun 2024 bisa dipastikan jumlah tersebut sudah meningkat jauh. Masa dapat dikatakan secara sederhana, setidaknya era digital secara massive dimulai sejak paruh pertama 2010 keatas.

2. Berbagai Tantangan yang Kompleks Bagi Guru

Masalah yang paling jelas adalah orang bebas mengunggah apapun di internet,sehingga ruang publik dibanjiri informasi tidak penting dan pemikiran setengah matang. Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi orang orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok…………………………………………………………………………………………………………………….. internet adalah wadah, bukan wasit (Tom Nichols, Matinya kepakaran)

Era Digital yang dijalankan hari ini memiliki berbagai kelebihan maupun ancaman, dari sisi pendidikan, telah banyak ahli pendidikan yang menganalisa banyak hal mulai dari peluang maupun ancaman di era digital, namun bagaimana bagi guru sejarah secara spesifik? Beberapa hal yang menjadi perhatian bagi guru di era digital antara lain adalah adanya kecendrungan untuk mengalami kelebihan informasi dengan semakin dekatnya sumber informasi didalam genggaman, baik bagi guru maupun siswa.

Dalam forum diskusi yang diadakan oleh IKASA UNJ (Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Sejarah UNJ) dan RDS (Ruang Diskusi Sejarah) pada 23 November 2024, Dr. Abrar, selaku narasumber dan dosen pendidikan Sejarah UNJ mengatakan, pada era digital tuntutan guru semakin bervariasi, salah satu yang disoroti adalah menjadi kurator konten, dimana tuntutan guru ini awalnya tidak begitu menjadi hal yang penting pada masa-masa sebelumnya. Namun seiring bertambahnya variasi informasi dan massivenya konten yang terkait dengan materi- materi pembelajaran, hal ini menyebabkan guru diharuskan juga untuk memiliki seperangkat pengetahuan dan teknik melakukan screening dalam rangka memvalidasi pengetahuan yang beredar di ruang-ruang pemahaman siswa, hal ini dikarenakan era digital, menyebabkan semua berbicara, menyampaikan pendapat bahkan berteori, terlepas dari benar atau tidaknya hal tersebut.

Salah satu contoh yang “agak berbahaya” adalah ketika siswa diminta untuk membuat materi tentang kerajaan Kutai, yang bercorak Hindu dan berada di kawasan Kalimantan Timur. Beberapa siswa dalam kelas bisa mengalami sebuah kesalahan dalam “mencomot sumber” dengan sistem mesin pencari yang meletakkan nama kerajaan Kutai Kertanegara di bagian paling atas di mesin pencarian. Kesalahan ini diperparah apabila siswa yang membahas kerajaan Kutai diminta mempresentasikan dan guru ternyata belum memiliki kemampuan memilah dan memverifikasi perbedaan kerajaan Kutai (atau Kutai Martadipura bagi beberapa web) dan Kutai Kertanegara, alhasil 1 kelas dapat memiliki pemahaman yang salah mengenai kerajaan Kutai (setidaknya ini terjadi beberapa kali di kelas saya, namun tentunya buru buru saya verifikasi), berselancar di internet membuat semua mudah dapat mengambil informasi namun belum tentu sedalam apa informasi tersebut.

Ada beberapa kasus lain yang tentunya akan membuat kita berpikir ulang apakah Internet pada dasarnya membantu kita dalam belajar atau justru membuat segala sesuatunya lebih sulit, contoh lain adalah ketika siswa mengeksplorasi gambar Sultan Agung di Internet, maka akan ada beberapa altenatif gambar yang muncul, sayangnya, apabila kita juga mengetik di mesin pencarian, Sultan Ageng (Padahal kedua berada di kerajaan dan riwayat yang berbeda), maka alternatif gambar yang muncul di bagian paling atas, juga sama. Bayangkan ini dialami oleh anak SLTA se- Indonesia, urgensi kemampuan untuk menjadi kurator konten adalah darurat dimiliki semua guru sejarah dimanapun.

Kita belum berbicara mengenai banyaknya pseudo-History yang juga beredar banyak di internet. Sebut saja G*ru G*mbul, Kisah Tanah Jawa, dan sederet konten kreator yang tidak hanya perlu diverifikasi kebenaran kontennya, namun harusnya dipisahkan dan dijauhkan dari aktivitas belajar anak kita, karena akan mengacaukan pondasi pengetahuan sejarah yang sudah mapan dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu dijawab secara ilmiah, seperti ketika membahas kerajaan Padjajaran di Jawa Barat abad ke-15, peserta didik (yang mungkin sudah menonton berbagai channel pseudo-history) bertanya terkait petilasan dari Prabu Siliwangi yang dikaitkan dengan berbagai peninggalan megalithikum di Bogor. Sungguh saya sebagai gurunya memiliki berbagai alternatif jawaban, namun dengan tidak mematikan daya kritis siswa saya sendiri, maka saya banyak menjawab terkait bagaimana suatu ilmu pengetahuan didapatkan.

Meskipun demikian, Internet tidak melulu berbicara hal sampah, ada baiknya ketika kecepatan informasi dan penelitian di dunia sejarah, sampai ke ranah ranah pengetahuan siswa kita. Sebut saja beberapa waktu lalu, ada polemik terkait Daendels (1808-1811 di Jawa) yang memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos, disebutkan pada intinya, Daendels memerintahkan pembangunan Jalan Raya tersebut dengan dibarengi adanya pengupahan melalui para Bupati-bupati di Jawa yang lantas, menurut berita tersebut, dikorupsi. Informasi ini memancing pengembangan terbaru dari materi yang telah mapan di kelas, diskusi menjadi semakin lebar dan menarik, tentunya apabila guru tidak juga meng-update perkembangan materinya, kelak akan lahir diskusi yang tumpul daripada diskusi yang produktif.

Demikian kemampuan guru dalam mengkurasi konten yang digunakan oleh siswa sangat dibutuhkan di era digital ini, tidak pelak bila guru justru terlampau abai terhadap proses verifikasi materi yang digunakan di kelas, akan terjadi mal-praktik dan kesalahan konsepsi di kelas yang dapat berdampak luas bagi pemahaman siswa di salah satu kelas, apabila terjadi di 1 paralel maka dampaknya tidak perlu ditanya lagi, kalikan dengan beberapa tahun guru tersebut mengajar di era digital, maka dampaknya adalah bencana yang tersimpan dengan baik.

Daftar Pustaka:

  • Muniati, S. (2022). Pentingnya Pengembangan Kompetensi Guru Di Era Digital. JSG: Jurnal Sang Guru, 1, 230-234. https://ejournal.uinib.ac.id/jurnal/index.php/jsg/index
  • Nichols, Tom (2021). Matinya Kepakaran: Jakarta, PT Gramedia Pustaka
  • Setiawan, W. (2017). Era Digital dan Tantangannya. Seminar Nasional Pendidikan, 1-9.
  • Triyanto. (2020). Peluang dan Tantangan Pendidikan Karakterdi Era Digital. Jurnal Civics: Media Kajian Kewarganegaraan, 17(2), 175-184. https://doi.org/10.21831/jc.v17i2.35476